Wednesday, 26 March 2014

Divergent (Movie Adaption)

Sebuah Movie Adaption of Divergent novel by Veronica Roth ini tayang satu hari lebih awal, 20 Maret alias Kamis kemarin. Pengennya sih hari itu langsung nonton, tapi US lebih penting dong, jadi kita tunda pas Senin Selasa juga ditunda karena beberapa alasan menyebalkan errrr. 
**

Film ini diawali dengan keadaan Chicago yang masih dalam pemulihan dari peperangan, wilayahnya dibatasi pagar, katanya sih, di luar pagar itu adalah wilayah yang gak pernah bisa pulih dari peperangan *Dan aku  penasaran? ada apa ya di luar sana? kok dibatesin? dan baik di buku satu dan duanya juga belum terjawab, mungkin ntar di ketiga._.*
Yap, untuk membangun kembali Chicago, mereka mengelompokan orang-orang sesuai dengan pribadinya. Amity (The Kind), Erudite (The Intelligent), Candor (The Honest), Abnegation (The Selfless), and Dautless (The Brave). Filmnya nerangin masing-masing faksi dengan jelas bahkan visualisasinya bagus.

"Faction before blood, yeah?"


Mom and Dad dari Tris and Caleb, poor them._.
Faksi dianggap lebih tinggi dibanding hubungan darah, makanya waktu Betrice (Shailene Woodley) yang dulunya Abnegation memilih Dauntless, dan kakaknya Caleb (Ansel Elgort) pilih Erudite, masyarakat kaget. Bahkan Jeanine menganggap kalau didikan Abnegation salah karena sebelumnya pernah ada kasus serupa pada anak ketua Abnegation yang melibatkan kekerasan. btw, Betrice ini seorang Divergent. Yang menurut masyarakat dianggap ancaman.

"You're different. You don't fit into a category. They can't control you. They call it Divergent. You can't let them find out about you."


*Christina&Tris* Ini nih cara Dauntless turun dari kereta, loncat broo!
Cerita dilanjutin sama fase inisiasi Betrice--yang kesananya bakal dipanggil Tris--yang mana dia masih diuji untuk bakalan masuk sama atau nggak di Dauntless, dan ujiannya membutuhkan keberanian besar, mereka dilatih jadi kuat, dan pantang menyerah. Kamu nyerah? Maka ini hukumannya.
Eric (Jai Courtney) nyuruh Christina (Zoe Kravitz) gelantungan di atas jurang
Mungkin, masalah tonjok menonjok._. Tris kalah, sampai sampai dia berada di peringkat terendah, nyaris jadi factionless. Tapi di uji tahap 2, dia yang pertama. Dan jeng-jeng-jeng sesuatu yang besar terjadi. Apakah itu? Silakan nonton-nonton._.
Tris dan Four waktu ujian akhir pertama.
Oiya, kenapa nama Four (Theo James) belum kesebut ya? hihi. Dia ini yang ngajarin anak-anak pindahan ke Dauntless, sedangkan Eric ngurusin anak asli Dauntless. Four juga selanjutnya bakal jadi pacar Tris. Duh, aku gak pinter nerangin cerita, mending nonton aja deh, soalnya kalo aku ceritain ntar spoiler abisssss._.
Tris di salah satu 'ketakutan'nya
**

Kalo aku ngebandingin ini film sama novel, cukup banyak karakter dan adegan yang gak dimasukin, juga ada beberapa yang beda tapi cukup menggambarkan dan tujuannya sama-sama ke sana. Tapi dimaklumin. Soalnya contoh deh, di buku tuh banyaaakkk banget karakter-karakter yang mencolok, cuma di sini jadi nggak semencolok itu. kayak Edward, nggak ada tuh adegan Peter yang nyolok mata Edward pake garpu *kalo gak salah inget, pas baca novelnya August 2012*. Uriah, Lynn, Zeke sebenernya ada walau cuma sepintas, cuma nggak dikenalin yang mana-yang mananya sama si tukang film, padahal mereka kan ntar berperan di novel selanjutnya. Dimaklum karena kalo misal semua karakter dimasukkin, ntar penonton bakal lieur, waktu aku baca novelnya aja masih suka lupa-lupa. Dan untung juga ada beberapa yang gak dimasukkin karena kita jadi bisa imajinasi sendiri, hihihih. Kisah cinta Will sama Christina juga gak terlalu mencolok, bahkan bisa disebut nggak ada-_-
Tory (Maggie Q) yang nyuntik serum ke Tris
Kayaknya tukang film lebih fokus sama tokoh utama. Oiya, aku belum ngomongin Jeanine (Kate Winslet) juga ya? Dia ini leadernya Erudite, yang oh uh you will know at the first time that she's bring something bad-_-
Look! Umurnya jauh banget yaaa, untung muka Tris polos, jadi gak terlalu keliatan tua, actingnya juga bagus. Dan tahu gak sih? Hal pertama yang terlintas pas tau Shailene yang meranin Tris? gendut._. haha iya tangannya gede amat, walau gak segede Theo wkwkw. eh, eh, aku kok suka suaranya Shailene ya? seksi._. Kalo Theo emang bener ketuaaannn, tapi kesana-kesana jadi biasa dan mayan ganteng lah, suaranya juga berat dan seksi._. *ada apa dengan kata seksi sih?._.* Kalo Jeanine, from titanic to divergent, cukuplah, gak bengis-bengis amat.
At last, film ini baguuusss, cuma gak bikin aku excited. Tapi ada juga beberapa adegan yang kereeennn, dan yang paling berkesan kayaknya waktu Tris flying fox dari atas gedung. it was ah-mai-zing. Mau dong nyoba, heheheh

Monday, 17 March 2014

Melbourne: Rewind

Judul: Melbourne: Rewind
Penulis: Winna Efendi
Penerbit: Gagasmedia
Terbit: Juni 2013
Tebal: 340 hlm
ISBN: 9797806456

Pembaca tersayang,

Kehangatan Melbourne membawa siapa pun untuk bahagia. Winna Efendi menceritakan potongan cerita cinta dari Benua Australia, semanis karya-karya sebelumnya: Ai, Refrain, Unforgettable, Remember When, dan Truth or Dare.

Seperti kali ini, Winna menulis tentang masa lalu, jatuh cinta, dan kehilangan.

Max dan Laura dulu pernah saling jatuh cinta, bertemu lagi dalam satu celah waktu. Cerita Max dan Laura pun bergulir di sebuah bar terpencil di daerah West Melbourne. Keduanya bertanya-tanya tentang perasaan satu sama lain. Bermain-main dengan keputusan, kenangan, dan kesempatan. Mempertaruhkan hati di atas harapan yang sebenarnya kurang pasti.

Setiap tempat punya cerita.

Dan bersama surat ini, kami kirimkan cerita dari Melbourne bersama pilihan lagu-lagu kenangan Max dan Laura.

Enjoy the journey,

EDITOR
***

Melbourne, adalah satu-satunya nama tempat yang aku pengen banget bisa studying abroad di sana! Lagi, Melbourne gak jauh-jauh amat dari Indonesia dan pendidikannya juga gak kalah bagus, dan satu lagiiii, Aussie ini adalah salah satu negara yang mempelajari bahasa Indonesia, jadi mungkin kita bisa dihargai lebih. ekekekkeke.
*

Cerita dimulai dengan dua tokoh, kadang Max, kadang Laura. Max yang tukang lampu, hehehe bukan tukang lampu beneran, maksudnya dia kerjanya ngurus-ngurusin pencahayaan suatu acara kayak konser gitu. Aku suka gimana Winna menceritakan indahnya cahaya itu. Apalagi pas nyeritain kamar Max, widiiihhhh kayaknya kereeennn banget gitu. Terus Laura, penyiar radio tengah malem. Penyiar Radio! heyyy, aku dari dulu kepengin banget jadi announcer, jadi pas baca makin tertarik, walau bagian itu gak terlalu digali.

*kalau gak salah angka* Empat tahun yang lalu keduanya menjalin cinta. Tapi putus karena Max harus pergi, dan sekarang Max pulang. Ketemuan deh si duo mantan ini. Di mana masing-masing karakter saling penasaran sama kejadian pas mereka pisah alias gak ketemu.

Ceritanya flashback-back-back-back. iya, alurnya mundur, dan sebenernya menarik soalnya kita terus menggali-gali informasi si karakter. Apalagi diramu sama plot majunya juga, penempatan plot maju sama plot mundurnya hebat deh. Dan sebenernya aku juga kagum sama kedua orang ini, karena walaupun mereka berdua gak ngobrol dan cuma duduk diem, itu tuh katanya nyaman aja, gak ada kebingungannya cari-cari topik buat dibicarain. Ohh~~ *ada di halaman 25.

Konflik di mulai pas ada tokoh baru, Evan. Evan itu pacarnya Cee, cuma Laura................................... *maaf, gak mau kasih spoiler, tapi kayaknya ketebak, yaudalah biarin._.*

Ceritanya baguuuuussss, kisah mereka berdua juga asyik, cuma sayang gak bikin greget. Tokoh yang aku suka malah bukan tokoh utama, malah sahabatnya Laura, si Cee, apalagi sama cara ngomongnya yang lucu. Aku malah ketawa bareng Laura ngebayangin plus ngedengering Cee ngomong di halaman 110. kekekekke.

Satu lagi, sebenernya gak masalah kali yak, cuma gak tau kenapa langsung ilfeel pas baca hal 142, yang 'sehabis bercinta' oh man, aku kan masih kecil unyu, emang harus banget ditambahin itu? heheh tapi yasudahlah, bisa diabaikan ini.

Novel ini bersetting di Melbourne tapi yang dieksplor dari negeri sananya cuma dikit, tapi lumayanlah dapet referensi. hihihihi.
“Nyaman adalah berbagi waktu tanpa perlu merasa canggung. Nyaman adalah menikmati keberadaan masing-masing, walau yang dapat kami berikan kepada satu sama lain hanyalah kehadiran itu sendiri. Nyaman berarti tidak perlu meminta maaf saat lengan kami bersenggolan secara tak sengaja, merokok dalam mobil dan bebas mengutak-atik stereo tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Nyaman adalah meneleponnya tanpa alasan, hanya karena ingin mengobrol, atau karena ada film baru yang ingin kutonton tapi tidak punya teman untuk diajak. Rasa ini tidak perlu dilabeli, diartikan, atau dianalisa.”